BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ledakan pertumbuhan penduduk akan berdampak pada penyediaan bahan
pangan dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk akan berpengaruh pada penyediaan
pangan dunia. Tingkat pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan bahan pangan
dunia sangat erat hubungannya.
Meningkatnya jumlah penduduk harus disertai dengan jumlah bahan pangan
dunia yang tersedia. Banyaknya penduduk akan mengurangi lahan yang akan
digunakan untuk pertanian, perternakan, dan lahan-lahan untuk produksi pangan.
Dengan berkurangnya lahan hijau di dunia karena banyaknya jumlah penduduk, maka
kualitas alam dalam penyediaan kebutuhan manusia khususnya pangan semakin
menurun sebagai akibat pertumbuhan penduduk. Sikap pemerintah dan masyarakat yang
peduli terhadap keseimbangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dan
ketersediaan bahan pangan sangatlah penting. Sehubungan dengan itu, Indonesia
sebagai Negara berkembang di wilayah Asia pun tidak terlepas dari permasalahan
ketersedian bahan pangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan yang ada, yaitu
keterbatasan bahan pangan maka pada makalah ini masalah yang akan dibahas
adalah
1. Bagaimana hubungan pertumbuhan jumlah
penduduk dan penyediaan bahan pangan dunia ?
2. Bagaimana dampak dari masalah penyediaan
bahan pangan ini terhadap Indonesia ?
3. Bagaimana tindakan atau upaya pemerintah
Indonesia dalam menghadapi permasalahan pangan ini ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
- Untuk mengetahui hubungan antara ledakan jumlah penduduk dan ketersedian pangan dunia.
- Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh masalah ketersediaan bahan pangan dunia terhadap Indonesia.
- Untuk menginformasikan kepada para pembaca mengenai ketersediaan pangan dunia dan juga di Indonesia , serta bagaimana tindakan pemerintah Indonesia terhadap permasalahan ini.
1.4 Manfaat
1.
Bagi
penulis : untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, memberikan informasi, serta
dapat mengasah kemampuan dan pemahaman diri dalam penyusunan makalah.
2.
Bagi
pembaca : diharapkan pembaca mendapat informasi mengenai permasalahan jumlah
penduduk dan ketersediaan bahan pangan dunia, menjadi wacana yang menunjang
pengetahuan para pembaca serta menjadi resensi dalam penyusunan makalah ke
depannya.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Persaingan antara pertumbuhan penduduk dan
produksi pangan telah menjadi perhatian cendekiawan sejak dua abad lalu. Hal
ini merupakan agenda yang sangat serius karena menentukan keberlangsungan hidup
umat manusia.
Malthus (1798) telah mempredikasi dunia akan menghadapi
ancaman karena ketidakmampuan penyediaan pangan memadai bagi penduduknya. Teori
Malthus ringkasnya menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret
hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa
depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan.
Setelah sekian lama berlalu dengan berbagai
dinamika inovasi teknologi pangan dan pengendalian penduduk, ekonom terkemuka
Jeffrey D. Sach (2008) masih mengajukan pertanyaan besar apakah benar kita
telah mengalahkan perangkap Malthus? Waktu dua abad pun belum bisa meyakinkan
kita akan jawaban tersebut.
Penduduk dan Kebutuhan Pangan
Jumlah penduduk dunia senantiasa tumbuh. US
Census Bureau, memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasifik saja mencapai
4 miliar dimana India dan China menyumbang lebih dari 2 miliar. Indonesia juga
berkontribusi besar, yaitu seperempat miliar jiwa.
Penduduk Indonesia tumbuh pesat, tahun 1900
jumlahnya masih sekitar 40 juta. Peningkatan penduduk berdasar pada periode,
yaitu 120 juta (1970), 147 juta (1980), 179 juta (1990), dan mencapai 206 juta
(2000). Angka terbaru penduduk telah mencapai 225 juta (2007). Dalam 40 tahun
tekahir, penduduk telah bertambah lebih dari 100 juta jiwa, sebuah peningkatan
yang fantastis (BPS, 2009).
Indonesia dipandang cukup sukses dalam implementasi program keluarga
berencana (KB) yang diintroduksi sejak 1968. Secara nasional, tingkat
pertumbuhan penduduk dapat ditekan dari 2,31 persen tahun 1970-an menjadi 1,49
persen tahun 2000-an.
Angka pertumbuhan penduduk yang telah dicapai tersebut dipandang masih
belum cukup jika dikaitkan dengan total penduduk nasional. Selain itu,
pascareformasi dan implementasi otonomi dearah, kebijakan program KB berada
dalam otoritas daerah di mana pada banyak kasus cenderung stagnan, bahkan turun
karena rendahnya concern daerah terhadap kependudukan. Jika hal ini terabaikan,
bukan tidak mungkin gejala ledakan penduduk akan terjadi dan berdampak sosial
ekonomi yang lebih rumit dan membahayakan.
Menggunakan pendekatan pertumbuhan penduduk sepuluh tahun terakhir
(1990–2000) sebesar 1,49 persen (BPS, 2009), dan data terakhir kependudukan
tahun 2007 sebesar 225 juta jiwa, secara sederhana dapat dikalkulasi bahwa
setiap tahun ada penambahan penduduk 3,35 juta jiwa.
Besarnya jumlah penduduk terkait langsung dengan penyediaan pangan.
Konsumsi pangan utama sumber karbohidrat adalah beras. Sebagaimana dilaporkan
Pasandaran, sejak tahun 1970–1990 konsumsi beras per kapita per tahun meningkat
nyata, yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980) menjadi 149 kg (1990). Meskipun
setelah tahun 1990, konsumsi beras sedikit turun, tapi dipandang masih cukup
besar, yaitu 114 kg/orang/tahun pada 2000 (BPS). Rerata konsumsi per kapita ini
merupakan yang terbesar di dunia.
Ketidakmampuan menyediakan pangan pokok yang ditandai dengan besarnya
impor beras beberapa saat lalu menjadi pertanda yang serius bagi kita agar
memiliki perhatian pada persoalan kependudukan dan penyediaan pangan.
Pangan dan Persoalannya
US Census
Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia akan
meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2020 di
mana kontribusi China dan India 26 dan 12 persen.
Persoalan
krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga
pangan di pasar internasional tahun 2008, salah satunya disebabkan membubungnya
permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India dengan penduduk
masing-masing 1 miliar jiwa.
Dalam
konteks Indonesia, produksi pangan nasional yang cukup merupakan persoalan yang
serius. Meskipun selama dua tahun terakhir dilaporkan swasembada beras
tercapai, tapi untuk jangka panjang masih menjadi pertanyaan besar.
Salah satu
solusi dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan areal dan
produktivitas. Meskipun hal tersebut telah dilakukan dengan berbagai strategi
tapi data menunjukkan masih jauh dari cukup. Selama lima tahun terakhir
(2004–2008), areal panen padi hanya meningkat 0,47 juta ha. Dari segi
produktivitas meningkat 0,32 ton/ha.
Dengan
prediksi jumlah penduduk 300 juta tahun 2015, kebutuhan beras akan membacapi
80-90 ton/tahun. Menggunakan asumsi luas panen yang tidak akan banyak berubah
dari angka 12 juta ha/tahu, solusinya pada tuntutan produktivitas hingga 10
ton/ha.
Hal tersebut
hampir dipastikan sebuah mission
impossible. Sejarah produksi beras dunia mencatat negara yang
memiliki sejarah dan tradisi produksi beras paling panjang dan teknologi paling
hebat seperti Jepang, Taiwan, Korea, dan China hanya mampu memproduksi beras di
lahan petani secara stabil dalam skala lapangan paling tinggi 7 ton/ha.
Agenda Masa Depan
Meskipun
berbagai inovasi telah diciptakan, perangkap Malthus masih tetap menghantui.
Kemampuan kita secara kontinu menyediakan pangan yang melampaui pertumbuhan
penduduk akan terus diuji sepanjang waktu.
Program
pengendalian penduduk diikuti program pendukung seperti layanan sosial,
pendidikan dan kesehatan menjadi prasyarat dan prioritas. Pemerintah pusat dan
daerah harus saling bersinergi dan bermintra dengan kalangan swasta dan
korporasi terkait dengan hal ini.
Penciptaan
lahan baru perlu didorong terutama untuk daerah yang layak dan potensial.
Program ini tidak bisa sepenuhnya diharapkan karena kendala sosial, teknis, dan
biaya. Solusi lain adalah mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering. World Bank
(2003) mendata lahan kering di Indonesia sebesar sekitar 24 juta ha. Lahan
tersebut sangat potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi
produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan, dan perkebunan.
Diversifikasi
pangan menjadi salah satu kata kunci. Bahan pangan nonpadi yang bisa diproduksi
dari lahan kering nonsawah sangat potensial untuk dikembangkan dan
dikampanyekan terus menerus kepada publik.
Penelitian,
pengkajian, dan penyebarluasan melalui penyuluhan akan teknologi produksi baru
seperti benih yang memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap kekurangan air
dan guncangan cuaca ekstrem mutlak diupayakan.
Program pengendalian alih fungsi
lahan pertanian utamanya sawah sangat mendesak dilakukan. Beberapa laporan
mengindikasikan selama 20 tahun terakhir, kita telah kehilangan 1 juta ha sawah
subur di Jawa karena alih fungsi lahan.
Di Indonesia sendiri yang
memiliki jumlah penduduk terbanyak ke empat dunia juga mengalami permasalahan
ketersediaan bahan pangan. Sekarang ini, ketersediaan bahan pangan di Indonesia
masih mencukupi. Namun, kegagalan program KB (Keluarga Berencana) yang
disebut-sebut oleh Ketua DPR Agung Laksono dan Dosen Pascasarjana Ilmu
Kedokteran Dasar Universitas Padjadjaran, Wildan Yatim yang secara otomatis
akan meningkatkan pertumbuhan jumlah penduduk yang di masa akan datang
mengakibatkan kekurangan bahan pangan jika tidak ditangani secara dini.
Kepala BKKBN Pusat Sugiri
Syarief sendiri memperkirakan jumlah penduduk Indonesia bisa membengkak menjadi
270 juta orang tahun 2015 jika program KB gagal atau 30 juta orang di atas
kondisi normal jika KB berjalan baik.
Tantangan
Indonesia memiliki sumber
daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator
ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih
banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi.
Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih
berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia dibawah 5
tahun memiliki berat badan dibawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi
sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak dibawah umur 5 tahun mengalami
gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indicator jangka panjang yang
cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat menghambat
pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan mengurangi
produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit
pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk dan dalam kemiskinan.
Kebijakan untuk Menjamin Ketahanan Pangan
Terdapat tiga komponen kebijakan
ketahanan pangan :
1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap
ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap
tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana
impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh jaringan distribusi swasta
yang berjalan secara effisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh
Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang memiliki pengaruh terhadap
ketersediaan pangan meliputi:
· Larangan impor beras
· Upaya Kementerian Pertanian
untuk mendorong produksi pangan
· Pengaturan BULOG mengenai
ketersediaan stok beras
2. Keterjangkauan Pangan.
Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan
bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik
yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi
pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin.
Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat
miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Sejumlah
kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan meliputi:
· Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi hampir
9 juta rumah tangga
· Upaya BULOG untuk mempertahankan harga pagu
beras
·
Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan domestic lebih tinggi
dibandingkan harga dunia.
3. Kualitas Makanan dan
Nutrisi: Hal yang juga penting untuk diperhatikan, sebagai bagian dari
kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yang mencukupi bagi penduduk, ialah
kualitas pangan itu sendiri. Artinya penduduk dapat mengkonsumsi
nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup
sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah
meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti
catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan
sejak akhir krisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap
kualitas pangan dan nutrisi meliputi:
· Upaya
untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting
·
Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis
·
Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi
Sepuluh Langkah untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan
I. MENGUPAYAKAN
PERAN BULOG
BULOG
masih merupakan salah satu institusi terpenting dalam menjamin ketahanan pangan
di Indonesia. Perubahan status hukum BULOG pada tahun 2003 dari Badan menjadi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memperluas lingkup BULOG untuk melakukan
aktivitas komersil sebagai bagian dari peran pentingnya dalam pelayanan jasa
publik. Tugas BULOG termasuk menjaga
stok ketahanan pangan nasional, pendukung publik dalam menjaga harga-harga
komoditas pertanian, menyediakan pangan dalam keadaan darurat, dan melaksanakan
program subsidi beras RASKIN bagi masyarakat miskin. Pengawasan pemerintah
pusat terhadap sejumlah
pelayanan BULOG, yang selama ini dilakukan oleh BULOG sendiri, telah dialihkan
ke dalam tugas Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN, dimana keduanya
memiliki keterbatasan kapasitas dan pengalaman dalam hal manajemen dan
kebijakan ketahanan pangan. Namun demikian BULOG masih tetap melakukan fungsi
tersebut selama lebih dari setahun terakhir, meski tanpa adanya persetujuan
mengenai rencana usaha maupun dalam penyusunan anggaran, walaupun sebenarnya
kedua hal tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum.
Pemerintahan yang baru harus memperkuat pengawasan terhadap peran BULOG
melalui Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN dengan cara:
1. Membangun
prosedur pengesahan laporan keuangan, rencana usaha dan anggaran tahunan BULOG.
2. Mulai membangun mekanisme
penyediaan dan kontrak alternative dengan pihak penyelenggara lain, untuk
mendapatkan perbandingan atas pelayanan publik yang selama ini dilakukan BULOG,
termasuk biaya yang timbul dalam pelayanan tersebut.
3. Membentuk
komisi independen yang bertugas memantau
stok aman kebutuhan beras nasional.
4. Menghitung secara akurat
biaya penyediaan program RASKIN dan mengkaji ulang kontrak antara pemerintah
dengan BULOG.
II. MENGKAJI
KEMUNGKINAN DIPISAHKANNYA BADAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DARI KEMENTRIAN
PERTANIAN
Kebijakan ketahanan pangan nasional
membutuhkan keseimbangan yang tepat antara keinginan konsumen dan produsen.
Dewan Ketahanan Pangan Nasional, yang diketuai oleh Presiden, didukung penuh
oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional dibawah Menteri Pertanian. Meski sejauh
ini dewan tersebut menunjukkan kinerja yang cukup baik, susunan struktur
seperti ini dapat menghadapi sejumlah kesulitan dimana Kementrian Pertanian
pada dasarnya akan cenderung lebih menanggapi kemauan petani ketimbang
keinginan konsumen pangan. MPR telah mempertimbangkan kemungkinan tersebut dan,
melalui Keputusan MPR No 8/2003, menginstruksikan presiden untuk mengkaji kemungkinan
BKP dijadikan sebagai lembaga yang terpisah dari Kementrian Pertanian.
Permintaan MPR tersebut membutuhkan tanggapan yang yang cukup serius. Jika
pemindahan itu memang harus dilakukan, hal tersebut harus direncanakan secara
matang, mengingat telah terjadi sejumlah perubahan susunan institusi ketahanan
pangan dan koordinasi antar lembaga di tahun-tahun belakangan ini. Yang
terpenting dalam hal ini ialah perubahan tersebut tidak menghilangkan kapasitas
institusi yang telah ada sebagai akibat perencanaan yang tidak matang.
III. MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS DEWAN KETAHANAN PANGAN DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Peraturan Pemerintah tahun 2000 mengenai ketahanan pangan memberikan suatu
kerangka dimana pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam mencapai tujuan
ketahanan pangan nasional. PP ini mengatur bahwa pemerintah sub-nasional turut
bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan dalam wilayah mereka masing-masing.
Beberapa kabupaten/kota telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota.
PP tersebut juga mendefinisikan kebutuhan pangan pokok secara luas, hal ini
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi perbedaan pola makanan yang
tercermin dalam ukuran-ukuran ketahanan pangan pada tingkat daerah. Dengan demikian
beras tidak harus diberi penekanan khusus di daerah dimana terdapat makanan
pokok lainnya. Ini merupakan gambaran yang baik dari sistem yang sedang
terbentuk, namun demikian kurangnya kapasitas kemampuan Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota membuat mereka hanya cenderung sekedar mengikuti agenda-agenda
tertentu dan terlibat dalam pengadaan serta penyimpanan kebutuhan pokok yang
tidak efektif. Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat untuk
memberikan petunjuk dan pengembangan kapasitas kemampuan agar Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota berfungsi secara efektif.
IV. MENGHILANGKAN LARANGAN IMPOR BERAS
Pada Januari 2004 Kementrian Industri dan Perdagangan mengumumkan larangan
atas impor beras mulai dari dua bulan sebelum hingga satu bulan sesudah periode
panen. Larangan ini secara berulang diperluas dan masih terus digunakan. Tujuan
utama dari larangan tersebut dimaksudkan untuk mendukung para petani dan
meningkatkan ketahanan pangan. Namun demikian kenyataan yang terjadi justru
sebaliknya-harga eceran terus naik namun harga di tingkat petani tidak berubah,
yang menunjukkan bahwa petani tidak memperoleh manfaat sesuai dengan harapan.
Artinya, ketahanan pangan bagi kebanyakan orang menjadi lebih buruk. Sekitar 80
% penduduk mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang diproduksinya, dan
terbebani harga beras yang tinggi. Sementara di lain pihak, 20 % penduduk
lainnya yang memperoleh keuntungan dari kebijakan ini, ternyata bukanlah masyarakat
miskin. Studi terakhir menunjukkan bahwa larangan impor secara permanen dapat
meningkatkan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan sebanyak 1,5 juta orang. Pemerintahan
yang baru sebaiknya menghapus larangan impor dan membiarkan impor beras oleh
para importir seperti sebelumnya. Memproteksi beras justru memperburuk
ketahanan pangan. Namun jika proteksi dianggap penting secara politis hal itu
dapat ditempuh melalui bentuk yang lebih transparan dan efisien seperti dengan
menerapkan bea masuk yang rendah ketimbang memberlakukan larangan impor.
V. MENGUBAH FOKUS DEPARTEMEN PERTANIAN DARI
MENDORONG PENINGKATAN PRODUKSI KE PERLUASAN TEKNOLOGI DAN PENCIPTAAN DIVERSIFIKASI
Kebijakan harga beras yang tinggi juga memiliki keterbatasan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat pedesaan: Bagi produsen beras yang produksinya lebih
tinggi dari konsumsi, dukungan melalui sejumlah kebijakan proteksi akan
memberikan peningkatan pendapatan dalam
waktu seketika; namun tidak mendorong pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan,
ketika produktivitas pertanian beras domestik telah mencapai titik yang cukup
tinggi. Akan lebih baik bagi Departemen Pertanian untuk memusatkan perhatian
pada peningkatan produktivitas di sejumlah produk-produk pertanian secara lebih
luas. Sebagaimana kita ketahui, konsumsi pangan disetiap kelompok pengeluaran
rumah tangga telah bergerak menuju pangan dengan kualitas yang lebih baik.
Dengan pertumbuhan seperti sekarang ini, konsumsi rumah tangga pada buah-buahan
dan sayur-sayuran kecenderungannya akan melebihi nilai konsumsi beras dalam
dekade ini. Kebijakan pertanian saat ini terlalu berkonsentrasi pada pemenuhan
beras, dimana nilainya cenderung rendah dan termasuk komoditas yang murah di pasaran
internasional. Hal ini telah memaksa petani untuk menanam komoditas yang
bernilai rendah serta menghambat upaya mereka untuk berpindah pada
produksi buah-buahan, hortikultura dan perternakan yang bernilai tinggi. Di
saat bersamaan pertumbuhan permintaan domestic terhadap produk-produk ini
semakin meningkat. Kebijakan pertanian harus bergerak secara agresif menuju
suatu penelitian dan agenda pengembangan yang menaruh perhatian pada komoditas
bernilai tinggi dan produk-produk yang permintaannya tumbuh tinggi. Kebijakan
tersebut juga dapat diusahakan untuk membantu produsen kecil dalam memenuhi
standar kualitas pada pasar-pasar yang sedang terbentuk, serta untuk memperoleh
akses pada rantai pasokan pangan yang saat ini banyak dilayani oleh jaringan
supermarket.
VI. MENURUNKAN BIAYA RASKIN (DOWNSCALE RASKIN)
Program RASKIN dimaksudkan sebagai salah satu program penting pemerintah
untuk mendukung ketahanan pangan dengan memasok sekitar 20 kg beras per bulan
kepada 9 juta keluarga miskin. Fakta yang ada menunjukkan bahwa program
tersebut teramat mahal, menghabiskan sekitar Rp. 4,8 trilliun pada tahun 2004,
dan relatif buruknya sasaran yang harus dicapai, menyebabkan manfaat yang
diperoleh masyarakat miskin sangat kecil. Secara rata-rata, rumah tangga
menerima sekitar 6 sampai 10 kg beras dan bukan 20 kg, disebabkan karena beras
tersebut didistribusikan secara merata baik pada rumah tangga yang tidak miskin
maupun rumah tangga miskin. Akibatnya, rata-rata nilai subsidi yang diberikan
kepada masyarakat miskin melalui program ini hanya sekitar 2,1 % dari
pengeluaran perkapita; jauh lebih kecil pada masyarakat yang tidak miskin.
Kemudian juga kebanyakan subsidi tersebut tidak pernah sampai pada rumah tangga
yang tepat, karena kebanyakan dana itu menjadi biaya operasional BULOG.
Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 3.343 untuk setiap
kilogram beras yang diberikan melalui BULOG, meski pada kenyataannya penyediaan
beras oleh pihak swasta dapat diperoleh pada tingkat harga Rp. 2.800. Dari
keseluruhan dana anggaran BULOG untuk pogram RASKIN hanya sekitar 18% yang
tepatyang menaruh perhatian pada komoditas bernilai tinggi dan produk-produk yang
permintaannya tumbuh tinggi. Kebijakan tersebut juga dapat diusahakan untuk membantu
produsen kecil dalam memenuhi standar kualitas pada pasar-pasar yang sedang
terbentuk, serta untuk memperoleh akses pada rantai pasokan pangan yang saat
ini banyak dilayani oleh jaringan supermarket.
VI. MENURUNKAN BIAYA RASKIN (DOWNSCALE RASKIN)
Program RASKIN dimaksudkan sebagai salah satu program penting pemerintah
untuk mendukung ketahanan pangan dengan memasok sekitar 20 kg beras per bulan
kepada 9 juta keluarga miskin. Fakta yang ada menunjukkan bahwa program
tersebut teramat mahal, menghabiskan sekitar Rp. 4,8 trilliun pada tahun 2004,
dan relatif buruknya sasaran yang harus dicapai, menyebabkan manfaat yang
diperoleh masyarakat miskin sangat kecil. Secara rata-rata, rumah tangga
menerima sekitar 6 sampai 10 kg beras dan bukan 20 kg, disebabkan karena beras
tersebut didistribusikan secara merata baik pada rumah tangga yang tidak miskin
maupun rumah tangga miskin. Akibatnya, rata-rata nilai subsidi yang diberikan
kepada masyarakat miskin melalui program ini hanya sekitar 2,1 % dari pengeluaran
perkapita; jauh lebih kecil pada masyarakat yang tidak miskin. Kemudian juga
kebanyakan subsidi tersebut tidak pernah sampai pada rumah tangga yang tepat,
karena kebanyakan dana itu menjadi biaya operasional BULOG. Pada tahun 2004 pemerintah
mengeluarkan sekitar Rp 3.343 untuk setiap kilogram beras yang diberikan
melalui BULOG, meski pada kenyataannya penyediaan beras oleh pihak swasta dapat
diperoleh pada tingkat harga Rp. 2.800. Dari keseluruhan dana anggaran BULOG
untuk pogram RASKIN hanya sekitar 18% yang tepat sasaran kepada masyarakat
miskin. Meski terdapat sejumlah permasalahan pada program Raskin- program ini merupakan
salah satu dari sedikit program dengan lingkup nasional dan memiliki
infrastruktur organisatoris yang berperan penting pada waktu terjadinya
gangguan pangan. Penghapusan program RASKIN, bukanlah suatu cara yang tepat.
Meski demikian juga penting untuk memikirkan reformasi yang radikal berkaitan
dengan program ini, antara lain:
1. Mensosialisasikan
dan melaksanakan target dari program RASKIN kepada masyarakat, dengan demikian
masyarakat perdesaan dapat memahami bahwa distribusi program ini hanya
diperuntukan bagi penduduk yang benar-benar miskin. Sekali lagi hal ini akan
lebih mudah bila program ini memang tepat sasaran.
2. Menciptakan
dasar biaya penyelenggaraan program RASKIN dan merevisi anggaran untuk program
ini.
3. Memperluas
penggunaan metode sasaran mandiri (self-targeting) oleh masyarakat miskin itu
sendiri, misalnya melalui paket RASKIN yang lebih kecil jumlahnya dan frekwensi
pemberian yang lebih sering. Sasaran program RASKIN semestinya berjumlah lebih
kecil dan biayanya jauh lebih murah. Melalui perbaikan sasaran, program
tersebut masih tetap memiliki dampak yang lebih baik bagi masyarakat miskin.
VII. MEMIKIRKAN KEMBALI KEBIJAKAN STABILISASI
HARGA BERAS
Langkah tradisional pemerintah dalam meningkatkan keterjangkauan
pangan umumnya ditempuh dengan cara menstabilisasikan harga beras. Hal ini dilakukan
melalui kebijakan harga pagu dan membeli beras di pasar dengan maksud mempertahankan
tingkat harga tersebut. Meski demikian ketidakmampuan BULOG dalam
mempertahankan harga pagu tersebut telah menjadi hal yang umum dan keterlibatan
pemerintah didalam pasar, telah menghambat pengembangan mekanisme penyesuaian
harga oleh pihak swasta (seperti melalui mekanisme penyimpanan). Upaya
pemerintah menstabilisasikan harga mungkin cukup tepat di masa yang lampau,
akan tetapi sekarang ini rantai pemasaran swasta telah cukup berkembang dan sejumlah
keterlibatam pemerintah pada dasarnya tidak diperlukan. INPRES No 9 tahun 2001
mengubah kebijakan sebelumnya dari menerapkan harga pagu menjadi penerapan
harga pembelian oleh pemerintah. Pemerintahan yang baru harus memusatkan
perhatian pada implementasi dari isi INPRES ini dengan mengkaji ulang apakah
mungkin dan jika memang demikian, bagaimanakah caranya untuk menstabilisasikan
harga beras tanpa menghambat aktivitas sektor swasta.
VIII. MENDUKUNG DAN MENERAPKAN PENINGKATAN GIZI
PADA BAHAN MAKANAN POKOK
Peningkatan gizi makanan, seperti melalui aturan penambahan yodium pada
produksi garam atau dengan mengharuskan produsen untuk menambah sejumlah
nutrisi mikro ke dalam produk makanan mereka, merupakan cara yang cukup efektif
dalam meningkatkan standar gizi. Pemerintah telah melakukan hal ini dengan
mendukung penggunaan garam beryodium dan peningkatan gizi tepung terigu. Akan
tetapi kondisi gizi yang buruk masih merupakan persoalan utama. Sebagai contoh sekitar
63 % wanita hamil dan sekitar 65-68 % anak dibawah 2 tahun menderita anemia
disebakan karena kekurangan zat besi. Sementara itu lebih dari seperempat rumah
tangga belum mengkonsumsi garam beryodium yang cukup.
Pemerintahan baru dapat meningkatkan kondisi gizi masyarakat dengan mendorong
dan menerapkan standar pemenuhan produksi pangan yang bergizi. Sebagai contoh,
di beberapa daerah produksi garam oleh sejumlah produsen kecil lokal didukung
oleh pemerintah setempat, sekalipun hasil produksinya masih belum memenuhi
standar yodium nasional. Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah
daerah produsen serta konsumen, untuk mendapatkan cara yang efektif dalam menjamin
pemenuhan gizi (meningkatkan kadar yodium) tanpa harus merusak pendapatan
produsen lokal. Hasil yang dicapai oleh Proyek Penanggulangan Defisiensi Yodium
(Intensified Iodine Deficiency Contro Project) menunjukkan bahwa cara ini dapat
ditempuh dan telah berhasil mengurangi lebih dari 50% angka penderita gondongan
pada periode 1996 dan 2003 diantara anak-anak sekolah yang berada di
provinsi-provinsi dengan endemi gondongan yang parah maupun moderat.
Menerapkan regulasi yang transparan juga menjamin bahwa investasi untuk
memenuhi standar gizi pada produk makanan tidak akan dikurang karena adanya
produsen yang tidak memenuhi standar gizi pada produk makanan mereka. Kerjasama
antar lembaga amat dibutuhkan melalui intervensi yang mencakup industri
pengolahan makanan (dibawah Menperindag), impor (Kepabeanan/Bea Cukai),
pengawasan penjualan makanan (BPOM), pemasaran secara sosial (Menkes) dan
pemerintahan daerah (Mendagri). Kerjasama harus bertujuan untuk membangun mekanisme
perlindungan terhadap produk makanan tertentu, pilihan uji gizi produk makanan
serta mekanisme penyediaannya dan membentuk kemitraan dengan produsen sektor
swasta dan para pemasok produk makanan yang dilindungi. Kerjasama ini juga
dapat ditujukan untuk menciptakan standarisasi produk dan aturan-aturan
produksi, serta memberikan pengawasan dan evaluasi terhadap penyediaan produk makanan,
disamping mengawasi dampaknya terhadap produk makanan yang dilindungi bagi
sejumlah penduduk.
IX.
FOKUSKAN KEMBALI PERHATIAN PADA PROGRAM MAKANAN TAMBAHAN
Program makanan tambahan yang tepat sasaran amat berperan penting dalam
peningkatan gizi. Program makanan tambahan diperkenalkan setelah krisis sebagai
bagian dari jaringan pengamanan sosial ( JPS). Nilai anggaran untuk program ini
pada tahun 2004 meningkat hingga Rp 120 milliar untuk memasok dan
mendistribusikan MP-ASI yang diproduksi secara lokal, yaitu sejenis makanan
tambahan utama dalam program tersebut. Meski demikian bukti yang diperoleh
menunjukkan bahwa cakupan program tersebut amat rendah dan tidak tepat sasaran.
Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 14% penduduk seperlima terkaya dan 17%
penduduk seperlima termiskin yang sama-sama menerima program makanan tambahan.
Pemerintah harus merevisi dan memfokuskan sasaran program untuk ditujukan pada
masyarakat yang mengalami kemiskinan yang kronis dan berada pada situasi yang
amat buruk.
X. MENINGKATKAN INFORMASI MENGENAI GIZI
Survei menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi yang lebih baik menyiapkan
lebih banyak gizi dan vitamin pada setiap makanan dalam rumah tangga.
Pengetahuan ibu akan gizi tidaklah terkait erat dengan tingkat pendidikan
formal mereka maupun tingkat pendapatan. Ini menunjukkan bahwa kampanye
mengenai informasi tentang gizi dapat meningkatkan kualitas menu makanan.
Apalagi ketersediaan bahan makanan yang bergizi pada pasar lokal, telah cukup
meningkat. Di masa lalu jaringan posyandu merupakan salah satu jaringan yang
paling efektif untuk memberikan informasi tentang gizi kepada kaum ibu, namun cakupan
geografis dan kualitas penyampaian informasi gizi melalui posyandu kini
mengalami penurunan. Sementara program revitalisasi posyandu perlu mendapat
perhatian, terpantau adanya sejumlah kendala pada anggaran dan sumber daya manusia,
terutama berkaitan dengan masalah desentralisasi. Selain itu, penyelenggara
jasa informasi alternatif juga mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Sehingga tujuan untuk membangun kembali jaringan secara nasional yang pernah
ada, seperti posyandu, mungkin bukan suatu hal yang tepat. Akan lebih baik jika
penyampaian informasi sosial mengenai gizi menempuh jalur altenatif yang
tersedia, khususnya melalui saluran televisi dan radio.
BAB V
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari makalah ini, dapat
menyimpulkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk sangat erat kaitannya dengan
ketersediaan bahan pangan di dunia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk semakin
besar kemungkinan tidak mencukupinya ketersediaan bahan pangan untuk penduduk
itu sendiri, begitupula sebaliknya. Dan jika permasalahan ini tidak diatasi
sedini mungkin, maka tidak menutup kemungkinan waktu ke depan kita akan
mengalami krisis bahan pangan.
- Saran
Bila ada kata yang salah atau
kekurangan dalam Makalah ini silahkan berikan saran dan kritikian agar dalam
pembuatan Makalah saya selanjutnya, dapat menjadi lebih baik.
Saran untuk pembaca : diharapkan
agar membaca dengan teliti , dan jika Makalah ini dijadikan resensi maka, harao
tidak mengurangi dan menambahkan agar tidak mengubah arti atau makna atau
maksud dari makalah di atas.
Juga , diharapkan setelah
membaca Makalah ini, pembaca dapat mengetahui apa yang telah dibahas.
DAFTAR
PUSTAKA
NN. 2011. Penyediaan
Pangan Perlu Inovasi (http://www.antaranews.com/ , diakses tahun 2011).
Metro
TV. 2011. Pertumbuhan Populasi Tak Diimbangi Penyediaan Pangan Nasional (http://metrotvnews.com/ , diakses 27 Juli
2011)
NN. 2009.
Ledakan Penduduk Dan Penyediaan Pangan (http://jakarta45.wordpress.com/ ,
diakses 3 Juni 2009)
NN.
2008. Ketahanan Pangan (http://www.setneg.go.id/
, diakses 25 Maret 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar